Tepat di penghujung tahun 2025, pemerintah secara resmi akan menghapus seluruh status honorer di lingkungan instansi pemerintah.
Kebijakan ini memicu kekhawatiran mendalam bagi ribuan guru madrasah swasta yang telah mengabdi puluhan tahun tanpa kepastian status.
Apakah mereka benar-benar siap kehilangan segalanya?
Aksi Damai yang Menjadi Sorotan Nasional
Kamis, 30 Oktober 2025, menjadi sejarah baru bagi perjuangan guru madrasah di Tanah Air.
Ribuan guru dari berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan, menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Monumen Nasional (Monas) dan Patung Kuda, Jakarta Pusat.
Mereka menyuarakan satu tuntutan: diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Kami adalah guru swasta Kemenag yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun,” ujar Dewi (55), seorang guru honorer asal Magetan, Jawa Timur, yang telah mengajar di madrasah swasta sejak 2004.
Dewi bersama rekan-rekannya menuntut kesetaraan dengan guru di sekolah umum yang lebih mudah menjadi PPPK.
“Untuk Kementerian Pendidikan bisa, kenapa Kemenag sulit?” protesnya.
Aksi ini berbuah audiensi dengan Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) RI, Juri Ardiantoro.
Ketua Umum Pengurus Besar Punggawa Guru Madrasah Nasional Indonesia (PB PGMNI), Heri Purnama, menuntut komitmen politik dari Presiden Prabowo Subianto.
“Hari ini harus ada political will dari Pak Presiden untuk masa depan guru-guru madrasah, diangkatkah mereka, beranikah pemerintah mengangkat mereka menjadi P3K atau ASN dan ditempatkan di madrasah awal?” tegas Heri.
Kebijakan Penghapusan Status Honorer: Fakta di Lapangan
Kebijakan penghapusan status honorer bukanlah hal baru.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) telah menetapkan batas akhir keberadaan tenaga honorer pada 31 Desember 2025.
“Tidak ada lagi pegawai berstatus honorer setelah 31 Desember 2025. Pemerintah pusat dan daerah wajib menyesuaikan seluruh tenaga non-ASN ke dalam sistem yang lebih terstruktur,” demikian pernyataan resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai langkah ini semakin menyudutkan nasib guru honorer.
“Intinya yang ingin kami sampaikan guru honorer itu terjepit. Dan saya kira ini cara yang sangat kasar dalam memperlakukan guru. Sebetulnya negara berutang sama guru honorer,” kata Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri.
