Berau Post pada 22 Oktober 2025 menyoroti “Isu Perang Dingin Purbaya vs Luhut di Sidang Kabinet,” yang salah satu pemicunya adalah perbedaan pendapat soal penanganan utang Whoosh.
Amir Hamzah menduga, sikap Purbaya telah berbenturan langsung dengan kepentingan kelompok pro-Luhut Binsar Pandjaitan (yang identik dengan proyek infrastruktur besar) dan mungkin juga mengusik “warisan” dari era Joko Widodo.
”Purbaya menolak mekanisme pembiayaan yang selama ini dikelola kelompok pro-Luhut, ini jelas benturan kepentingan besar,” ujar Amir.
Secara teknokratis, langkah Purbaya untuk menjaga APBN mungkin benar.
Namun di panggung politik kekuasaan, kebenaran teknis seringkali kalah oleh realitas kepentingan.
Polemik utang ini sendiri sangat nyata, di mana pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dilaporkan tengah melakukan negosiasi intensif dengan pihak China untuk mencari solusi utang jumbo tersebut.
”Purbaya tidak salah secara ekonomi, tapi dalam politik kekuasaan, benar secara teknis belum tentu aman secara politik,” tutur Amir Hamzah.
Ia bahkan meramalkan, jika tekanan ini terus berlanjut, Purbaya bisa terdepak dari kabinet pada awal 2026.
Kasus Purbaya ini menjadi cerminan brutal dari dunia politik: integritas fiskal versus intrik kekuasaan.
Sang Menkeu kini berada di persimpangan jalan, harus memilih antara mempertahankan prinsipnya atau mencari “perlindungan politik” agar selamat dari “operasi senyap” yang sedang mengintainya. ***
